Informasi Penting

Senin, 15 Desember 2008

The 7 Habits of Highly Effective People by Stephen Covey

Artikel menarik dari blognya sinta

Stephen Covey dalam bukunya "The 7 Habits of Highly Effective People"menguraikan hal-hal sebagaimana tertulis di bawah ini. Yang membedakan orang-orang yang sangat efektif dengan orang kebanyakan yang tidak produktif adalah, bukan pada apa yang mereka miliki, tetapi pada kebiasaan-kebiasaannya.

Watak seseorang terbentuk dari kebiasaan-kebiasaannya. Di alam bawah sadar, kebiasaan-kebiasaan itu membentuk dan mengubah watak seseorang. Dan ternyata kebiasaan-kebiasaan itu bisa diubah, asal kita mau, walaupun membutuhkan waktu.

sow a thought, reap an act
sow an act, reap a habit
sow a habit, reap a character
sow a character, reap a destiny

taburlah pemikiran, maka Anda akan menuai tindakan
taburlah tindakan, maka Anda akan menuai kebiasaan
taburlah kebiasaan, maka Anda akan menuai watak
taburlah watak, maka Anda akan menuai nasib Anda

· Kebiasaan itu sendiri terjadi karena adanya paradigma. Yang dimaksudkan dengan paradigma adalah sudut pandang atau kerangka yang terbentuk oleh pengalaman hidup, pendidikan maupun latar belakang kita.
· Paradigma inilah yang menentukan bagaimana kita memandang dan mengartikan dunia ini, dan dengan demikian menentukan bagaimana kita bereaksi dan bersikap terhadapnya.

Sebagai contoh :
mula-mula astronom Mesir, Ptolemy, mengatakan bahwa dunia adalah pusat dari jagat raya. Tetapi kemudian Copernicus menyebabkan perubahan paradigma, ketika dia membuktikan bahwa sebenarnya mataharilah yang merupakan pusat dari jagat raya.

· Pengertian akan konsep paradigma ini membuat orang belajar mengerti bagaimana orang lain memandang persoalan yang sama dengan kacamata yang berbeda. Pengertian tentang paradigma ini juga dapat menghindarkan orang dari sikap merasa dirinya sebagai korban lingkungan atau orang lain, sehingga seringkali melakukan "blaming to others" (menyalahkan orang lain), karena mengangap dunialah yang salah kalau sesuatu itu tidak sesuai dengan harapannya.? Selanjutnya Stephen Covey menjelaskan bahwa di dunia ini ada hukum alam untuk kematangan. Seorang bayi berkembang dari ketergantungan pada orangtuanya menjadi mandiri sebelum akhirnya mencapai kematangan pemahaman akan saling ketergantungan dengan orang lain disekitarnya. Ekosistem alam tercermin dalam ketergantungan kolektif dari masing-masing warga masyarakat, satu terhadap yang lain.

· Ketergantungan seorang bayi paradigmanya adalah "Engkau" (engkau merawatku; kalau ada yang salah, itu salahmu), sedangkan pada kemandirian remaja, paradigmanya adalah "Aku" (ini pilihanku, aku akan mengerjakannya sendiri). Dan dalam tahap saling tergantung orang dewasa, paradigmanya adalah "Kita" (kita bisa bekerja sama, sebaiknya kita bersatu).

· Dalam proses kematangan seseorang dari tahap ketergantungan (dependent) menjadi kemandirian (independent) dan kemudian saling tergantung (interdependent); ada kebiasaan-kebiasaan yang perlu dikuasai supaya seseorang bisa menjadi sangat efektif.

Stephen Covey menyatakan adanya tujuh kebiasaan yang perlu dimiliki.

· Tiga diantaranya berkaitan dengan penguasaan diri yaitu:

1. Jadilah proaktif (Be Proactive).
2. Merujuk pada tujuan akhir (Begin with the End in Mind).
3. Dahulukan yang utama (Put First Thing First).

Kalau kita dapat menguasai ketiga kebiasaan ini maka kita akan mengalami apa yang disebut "kemenangan pribadi" (private victory), dan kita boleh dikatakan telah mencapai tahap kemandirian (independent).

· Setelah mandiri ini, kita dapat meraih "kemenangan publik" (public victory) dengan menguasai ketiga kebiasaan selanjutnya yaitu:

4. Berpikir menang-menang (Think Win-Win).
5. Berusaha mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti (Seek first to Understand then to be Understood).
6. Wujudkan sinergi (Synergize).

· Proses ini tidak bisa dibalik, sebagaimana kita tidak mungkin panen sebelum menanam. Jadi prosesnya berlangsung dari dalam keluar (inside out), yaitu memulai dari diri sendiri baru dengan orang lain.

· Kebiasaan ke 7 yaitu "Asahlah gergaji" (sharpen the saw) adalah kebiasaan untuk melakukan pengembangan diri.

Kebiasaan 1 : Jadilah proaktif (Be Proactive).

· Bersikap proaktif tidak hanya berarti mengambil inisiatif tetapi juga bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya.
· Seorang yang proaktif mempunyai kebebasan memilih sendiri keputusan-keputusannya dan bertanggung jawab akan akibat dari keputusannya itu. Sedangkan seorang yang reaktif kebalikan dari proaktif, sikapnya berdasarkan kondisi atau sikap orang lain dan karena itu tidak merasa bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya sehingga selalu menyalahkan keadaan atau orang lain.
Di bawah ini adalah contoh-contoh pernyataan orang yang Reaktif dan Proaktif.


Pernyataan Reaktif: Pernyataan Proaktif:

1. Saya tidak bisa berbuat apa-apa 1. Apa pilihan yang ada? tentang itu.
2. Begitulah sifat saya. 2. Apa yang dapat saya perbaiki?
3. Dia sih yang bikin aku marah. 3. Saya yang menguasai emosiku.
4. Saya tidak bisa. 4. Saya mau atau tidak mau.
5. Saya terpaksa. 5. Saya suka atau tidak suka.
6. Seandainya saja ..... 6. Saya hendak dan merencanakan.


Kebiasaan 2 : Merujuk pada tujuan akhir (Begin with the End in Mind).

· Ini adalah kebiasaan kepemimpinan diri (personal leadership), yaitu memulai suatu kegiatan dengan suatu kejelasan tentang apa hasil yang ingin dicapai.
· Segala sesuatu diciptakan dua kali. Produk apa pun yang dihasilkan pada mulanya telah ada sebagai konsep, baru kemudian secara fisik. Misalnya :
membangun rumah, selalu ada rancangannya terlebih dahulu.
· Kepemimpinan adalah "ciptaan pertama", yaitu "doing the right things".
Manajemen adalah "ciptaan kedua", yaitu "doing things right".


Kebiasaan 3: Dahulukan yang utama (Put First Thing First).

· Ini adalah kebiasaan mengelola prioritas. Kita harus bisa membedakan apa yang penting (important) dan apa yang mendesak (urgent).
· Hal-hal yang mendesak selalu "menyerang" kita, dan biasanya kita bereaksi terhadapnya; waktu kita banyak yang habis untuk mengurusi hal-hal yang mendesak ini, dan seringkali melupakan hal-hal yang justru penting.
· Orang-orang yang sangat efektif pandai menggunakan waktunya untuk mengelola hal-hal yang penting, dan sikapnya yang proaktif akan mengurangi timbulnya hal-hal yang mendesak.

Kalau ketiga kebiasaan ini bisa kita kuasai maka kita bisa dikatakan mandiri, dan kini siap memasuki kehidupan yang saling tergantung atau interdependent. Agar kita bisa sangat efektif dalam hidup yang saling tergantung, kita perlu memiliki kebiasaan-kebiasaan selanjutnya.


Kebiasaan 4 : Berpikir menang-menang (Think Win-Win).

· Menang-menang adalah suatu sikap mental untuk mencari keuntungan bersama.
· Pada dasarnya ada enam paradigma interaksi manusia; empat di antaranya adalah:
1. Menang/Kalah. Semboyannya "Kalau Anda menang, saya pasti kalah; jadi saya harus menang, dan Andalah yang kalah" (contoh: kepemimpinan yang otoriter). Segala sesuatu menjadi persaingan dan setiap kemenangan harus menyebabkan kekalahan pihak lain.
2. Kalah/Menang adalah mentalitas orang kalah yang selalu tunduk pada keinginan pihak lain. "Apa sajalah, asal tetap damai". Ini lebih buruk daripada sikap Menang/Kalah karena sama sekali tidak mempunyai pendirian atau keberanian untuk menyatakan keyakinannya. Yang ada hanya mengalah terus-menerus.
3. Kalah/Kalah adalah hasil jika dua orang keras kepala, egois dan bersikap mau menang sendiri bertemu. Ini dapat berubah menjadi obsesi permusuhan yang dapat mendorong terjadinya peperangan. Orang dikuasai oleh dorongan untuk mengalahkan pihak lain, bahkan tanpa peduli akan kerugiannya sendiri.
4. Menang/Menang adalah falsafah yang dianjurkan Stephen Covey bagi hubungan antara manusia. Yaitu, mencari terus menerus akan manfaat timbal balik dalam setiap interaksi. Dengan menganut paradigma ini, seseorang tidak akan bahagia kalau pihak lainnya tidak bahagia juga. Hidup ini dipandang sebagai kerjasama bukan sebagai permusuhan. Orang yang efektif berprinsip menang-menang dalam tindakannya dan kesepakatannya. Mentalitas menang-menang ini baru bisa dilakukan kalau kita punya "abundance mentality", yaitu pemikiran bahwa segala sesuatunya itu berkelebihan sehingga tidak perlu kita mematikan orang lain untuk mendapatkan keuntungan. Orang yang mempunyai sikap menang-kalah didasari oleh "scarcity mentality", seakan-akan segala sesuatunya itu terbatas sehingga harus diperebutkan, bilamana perlu dengan mengalahkan pihak lain.


Kebiasaan 5 : Berusaha mengerti terlebih dahulu baru dimengerti (Seek first to Understand then to be Understood). ?

Inilah kebiasaan berkomunikasi secara efektif. Para dokter menganalisa penyakit pasiennya sebelum memberi resep. Seorang top salesman akan mempelajari kebutuhan pelanggannya terlebih dahulu sebelum menawarkan produk atau jasanya.
· We see the world as we are, not as it is. Kita melihat dunia dari kacamata kita bukan sebagaimana adanya. Persepsi kita dibentuk oleh pengalaman-pengalaman kita, dan seringkali hal ini membatasi kita. Tantangan untuk memecahkan perbedaan pendapat adalah dengan mencoba mengerti sudut pandang atau paradigma orang lain terlebih dahulu.
· Kalau kita bisa mengerti secara penuh seseorang, maka ia akan menurunkan tembok pembatasnya.
· Memaksakan kehendak kita secara emosional tidak akan produktif malahan sebaliknya: counterproductive.


Kebiasaan 6 : Wujudkan sinergi (Synergize).

· Ini adalah kebiasaan untuk mewujudkan kerja sama dan mencari alternatif-alternatif baru yang jauh lebih besar.
· Sinergi berarti 1 + 1 > 2. Sinergi adalah hasil dari menciptakan suasana di mana orang-orang yang berbeda dapat saling memberi sumbangannya berdasarkan kekuatan masing-masing sehingga hasilnya akan lebih besar dibandingkan bila dikerjakan sendiri-sendiri.
· Sinergi adalah pendekatan yang paling efektif untuk memecahkan persoalan daripada sikap yang apatis (asal damai saja) ataupun konfrontasi (tidak mau kalah).


Kebiasaan 7 : Asahlah gergaji (Sharpen the Saw).

· Ini adalah kebiasaan untuk perbaikan diri.Istilah ini berasal dari kisah dua orang tukang kayu. Yang satu terus menggergaji dan merasa terlalu sibuk untuk berhenti sebentar. Yang lain berhenti sesekali untuk mengasah gergajinya. Justru yang kedua ini hasilnya lebih banyak dan lebih baik.
· Seorang yang efektif akan melakukan kebiasaan-kebiasaan untuk mengembangkan pertumbuhan pengetahuan, mental, spiritual maupun ketahanan fisiknya, karena menyadari bahwa dengan pengembangan diri itu dia bisa lebih produktif dan efektif dan tidak "habis- habisan".

Rabu, 30 Juli 2008

Sang Murabbi

Film ini berkisah tentang perjalanan dakwah Ustadz Rahmat Abdullah. Berawal dari persepsi positif Ustadz Rahmat muda tentang profesi guru, yang merupakan rekfleksi cita-citanya saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Setiap kali ditanya orang, apa cita-citanya, ia akan menjawab dengan mantap: menjadi guru!

Persepsi itu kemudian menjadi elan vital yang menggerakkan seluruh energi hidup Ustadz Rahmat, ketika ia menimba ilmu di pesantren Asy Syafiiyah di bawah asuhan KH Abdullah Syafii. Bakat besar dan pemikirannya yang brilian, menjadikan Ustadz Rahmat dikagumi oleh setiap orang, terutama gurunya, KH Abdullah Syafii, yang menjadikan Ustad Rahmat muda sebagai murid kesayangannya.

Ustadz Rahmat muda mulai merintis kariernya sebagai guru selulus dari Asy Syafiiyah. Selain di almamaternya, ia juga mengajar di sekolah dasar Islam lainnya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Perjalanan karier yang dipilihnya itu kemudian mempertemukannya dengan guru keduanya, Ustadz Bakir Said Abduh yang mengelola Rumah Pendidikan Islam (RPI). Melalui ustadz lulusan pergururan tinggi di Mesir itu, Ustadz Rahmat banyak membaca buku-buku karya ulama Ikhwanul Muslimin, salah satunya adalah buku Da'watuna (Hasan Al-Bana) yang kemudian ia terjemahankan menjadi Dakwah Kami Kemarin dan Hari Ini (Pustaka Amanah).

Situasi ini, membuat potensi bakat Ustadz Rahmat Abdullah melejit dengan banyaknya referensi bacaan yang ia konsumsi, mulai dari kitab Arab klasik yang sudah sulit dicari, sampai buku-buku sastra dan budaya. Ia pun dikenal sebagai dai yang lengkap, karena tidak cuma menguasai ilmu-ilmu Islam yang “standard” tetapi juga persoalan-persoalan kontemporer.

Potret paripurna kedaian Ustadz Rahmat terlihat ketika ia membina para pemuda di lingkungan rumahnya di kawasan Kuningan. Ustadz Rahmat menggunakan pendekatan yang masih sangat langka di kalangan dai, yaitu dengan grup teater yang didirikannya. Para pemuda itu diasuhnya dalam organisasi bernama Pemuda Raudhatul Falah (PARAF) yang menghidupkan masjid Raudhatul Falah di bilangan Kuningan dengan kegiatan-kegiatan keislaman.

Pementasan grup teater binaan Ustadz Rahmat muda itu mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Salah satunya adalah pementasan berjudul Perang Yarmuk. Pada pementasan inilah, Ustadz Rahmat dan para pemuda PARAF harus berhadapan dengan aparat yang mencoba membubarkan pementasan.

Akibat pementasan itu, Ustadz Rahmat dikenai wajib lapor. Tapi, hingga hari ini, Ustadz Rahmat tidak pernah mau meladeni aturan yang menindas kebebasan itu.

“Saya tidak akan pernah datang ke kantor kalian,” kata Ustadz Rahmat kepada Suryo, seorang aparat yang bertugas menyatroninya. “Kalau ibu saya yang memanggil, baru saya mau datang.”

Keteguhan pada prinsip dan ketegasan sikapnya itulah yang membuat Suryo ngeper. Hingga bertahun kemudian keteguhan dan ketegasan itu tetap terpelihara dengan baik, meski Almarhum harus terlibat dalam wasilah (sarana) dakwah bernama partai. Ia tetap dikenal sebagai guru ngaji, inspirator kaum muda yang progresif dan berpikiran jauh ke depan. Undangan daurah satu ke daurah yang lain tetap disambanginya. Tak ada yang berubah, termasuk ciri khas yang menjadi warisan dari kedua orang tuanya yang mulia: kesederhanaan.

Ustadz Rahmat memang berada di jenjang tertinggi partai, serta terpilih pula sebagai wakil rakyat di DPR pusat. Namun, ia kerap dipergoki sedang menyetop bus kota untuk mendatangi sebuah undangan. Ia kerap terlihat jalan kaki untuk jarak yang cukup jauh. Tak ada yang berubah, karena ia sadar betul bahwa langkah itulah yang dimulainya dulu sebagai permulaan di jalan dakwah.

Hingga akhirnya, di sebuah hari yang sibuk dan berat, Ustadz Rahmat merasakah tanda-tanda kesehatannya terganggu. Namun, rasa tanggung jawabnya yang besar terhadap amanah dakwah, membuat ia tak begitu mempedulikan tanda-tanda itu.

Ia masih terlibat dalam sebuah syuro penting. Lalu, saat adzan berkumandang dan ia beranjak untuk memenuhi panggilan suci itu, ia berjalan ke tempat wudhu. Saat berwudhu, tanda-tanda itu makin kuat, menelikung pembuluh darah di bagian lehernya. Ia coba untuk menyempurnakan wudhunya, tapi rasa sakit yang merejam-rejam kepalanya membuatnya limbung.

Disaksikan oleh Ustadz Mahfudzi, salah seorang muridnya, Ustadz Rahmat nyaris terjatuh. Ustadz Mahfudzi cepat memapahnya, lalu mencoba menyelamatkan situasi. Tetapi Allah lebih sayang kepada Ustadz Rahmat Abdullah. Innalillahi wa innailaihi raaji'uun...Syaikhut Tarbiyah itu meninggalkan kita dengan senyum yang amat tulus...hujan air mata dari seluruh pelosok tempat mengiringi kepulangan beliau.

Copyright © 2008 Sang Murabbi

Selasa, 29 Juli 2008

BANGKITLAH NEGERIKU, HARAPAN ITU MASIH ADA

Tatap tegaklah masa depan
Tersenyum lagu kehidupan
Dengan cinta dan sejuta asa
Bersama membangun Indonesia

Pegang teguhlah kebenaran
Buang jauh nafsu angkara
Berkorban dengan jiwa dan raga
untuk tegaknya keadilan

Bangkitlah negeriku
Harapan itu masih ada
Berjuanglah bangsaku
Jalan itu masih terbentang

S’lama matahari bersinar
S’lama kita terus berjuang
S’lama kita satu berpadu
Jayalah negeriku jayalah …

Munsyid/Nasyid: Shoutul Harokah



Gerakan Bangkit Negeriku! Harapan Itu Masih Ada

Senin, 26 Mei 2008

Basel II

Basel II adalah rekomendasi hukum dan ketentuan perbankan kedua, sebagai penyempurnaan Basel I, yang diterbitkan oleh Komite Basel. Rekomendasi ini ditujukan untuk menciptakan suatu standar internasional yang dapat digunakan regulator perbankan untuk membuat ketentuan berapa banyak modal yang harus disisihkan bank sebagai perlindungan terhadap risiko keuangan dan operasional yang mungkin dihadapi bank.

Pendukung Basel II percaya bahwa standar internasional seperti ini dapat membantu melindungi sistem keuangan internasional terhadap masalah yang mungkin timbul sewaktu runtuhnya bank-bank utama atau serangkaian bank. Dalam praktiknya, Basel II berupaya mencapai hal ini dengan menyiapkan persyaratan manajemen risiko dan modal yang ketat yang dirancang untuk meyakinkan bahwa suatu bank memiliki cadangan modal yang cukup untuk risiko yang dihadapinya karena praktik pemberian kredit dan investasi yang dilakukannya. Secara umum, aturan-aturan ini menegaskan bahwa semakin besar risiko yang dihadapi bank, semakin besar pula jumlah modal yang dibutuhkan bank untuk menjaga likuiditas bank tersebut serta stabilitas ekonomi pada umumnya.

Tiga pilar

Basel II mengusung konsep "tiga pilar" yaitu persyaratan modal minimum, tinjauan pengawasan, serta pengungkapan informasi. Basel I sebelumnya hanya memperhatikan sebagian dari masing-masing pilar ini. Misalnya, Basel I hanya memperhitungkan risiko kredit secara sederhana, mempertimbangkan sedikit risiko pasar, serta sama sekali tidak menangani risiko operasional.

I. Pilar pertama

Pilar pertama berkaitan dengan pemeliharaan persyaratan modal (regulatory capital) yang diperhitungkan untuk tiga komponen utama risiko yang dihadapi bank: risiko kredit, risiko pasar, serta risiko operasional. Jenis risiko lain tidak dianggap layak diperhitungkan pada tahap ini.

Capital elements yang digunakan pada Basel I disempurnakan pada Basel II, diantaranya dengan menambahkan tier 3 yaitu : Short-term subordinated debt covering market risk (hutang subordinat jangka pendek yang mengcover resiko pasar). Tier 3 capital ini dibatasi maksimum sebesar 250 % tier 1 yang dimaksudkan untuk mendukung resiko pasar. Elemen pada tier 2 dapat disubtitusikan kedalam tier 3 dengan batasan yang sama yaitu 250% tier 1. Meskipun demikian ada beberapa negara yang berpendapat untuk membatasi jumlah tier 2 dan tier 3 maksimal sama dengan 100% jumlah tier 1.

A . Resiko Kredit

Risiko kredit dapat dihitung dengan dua cara yang berbeda, yaitu pendekatan standar (standardized approach) yang dilakukan oleh penilai dari luar atau berdasarkan standar yang ada, dan Foundation IRB (internal rating-based). yaitu penilaian resiko yang bisa dilakukan oleh sistem penilaian resiko internal yang disesuaikan dengan karakteristik kegiatan usaha dan profil risiko individual bank (internal model) sehingga lebih sophisticated.

i. Pendekatan Standar

Pada pendekatan standar dilakukan dengan pengukuran cumulative default rate (CDR) dengan melakukan komparasi antara penilaian yang dilakukan oleh institusi penilai kredit eksternal (External Credit Assessment Institution) dengan International Experience (disusun dari kombinasi agensi berpengalaman yang memiliki rating tinggi). Pembobotan tidak dilakukan secara sederhana seperti pada Basel I akan tetapi dilakukan dengan menggunakan pertimbangan ratting dari lembaga terkait. Sebagai contoh : pada Basel I, pembobotan resiko untuk klaim pada bank central atau pemerintah pusat untuk mata uang yang sama atau pada negara anggota OECD adalah 0%. Pada Basel II aturan ini dijabarkan kembali dengan memperhatikan ratting dari negara atau bank central tersebut sebagai berikut :

Credit

Assessment

AAA to

AA-

A+ to A-

BBB+ to

BBB-

BB+ to B-

Below B-

Unrated

Risk Weight

0 %

20 %

50%

100%

150%

100%

Demikian juga untuk klaim pada institusi lainya, masing – masing ada ratingnya sendiri-sendiri sesuai penilaian kredit dari pihak eksternal. Terlihat bahwa pada Basel II ini pembobotan tidak terbatas pada 5 katagori seperti pada Basel I tapi bahkan ada katagori yang pembobotanya lebih dari 100 % seperti 150% tersebut.

ii. Internal Ratting Based

Internal Ratting Based yaitu penilaian resiko yang bisa dilakukan oleh sistem penilaian resiko internal yang disesuaikan dengan karakteristik kegiatan usaha dan profil risiko individual bank (internal model) sehingga lebih sophisticated. Penghitungan rating resikonya lebih komplek dengan melibatkan item-item khusus yang ada pada internal bank tersebut.

B. Resiko Operasional

Resiko operasional adalah resiko kerugian yang disebabkan ketidakcukupan atau kesalahan proses internal, manusia, sistem atau dari events eksternal. Definisi ini mencakup legal risk, dan tidak mencakup strategic dan reputational risk. Ada tiga pendekatan dalam penghitungan resiko operasional yaitu pendekatan dasar (basic indicator approach, BIA), pendekatan standar (standardized approach, STA), serta advanced measurement approach (AMA). Pemilihan penghitungan resiko ini didasarkan pada karakteristik resiko dari masing-masing bank.

i. Pendekatan dasar (BIA)

Pada pengukuran dengan pendekatan dasar (BIA), besarnya resiko dihitung sebagai : KBIA = [ S (GIt-n x a)]/n×

Dengan

KBIA : Kapital resiko dengan pendekatan dasar

GI : Pendapatan kotor tahunan, jika positif, lebih dari tiga tahun sebelumnya.

a : 15 % ditetapkan oleh komite berdasarkan masing-masing industri.

N : Jumlah tahun, lebih dari tiga tahun sebelumnya yang memiliki GI positif.

ii. Standardised Approach (SA)

Pada pengukuran dengan Standardised Approach (SA), aktifitas bank dibagi dalam delapan line bisnis: corporate finance, trading & sales, retail banking, commercial banking, payment & settlement, agency services, asset management, and retail brokerage. SA dirumuskan sebagai berikut :

KTSA ={Syears 1-3 Max [ S (GI1-8 x β1-8),0]}/3

dimana:

KTSA = Capital charge under the Standardised Approach

GI1-8 = Pendapatan kotor tahunan yang dedifinisikan pada pendekatan BIS untuk masing-masing kedelapan line bisnis.

β1-8 = Persentase tetap, ditetapkan oleh komite, terkait dengan level kebutuhan modal pada tingkat pendapatan kotor untuk masing-masing kedelapan line bisnis. Detil nilai beta adalah sebagai berikut:

Corporate finance (β1)

18 %

Trading and sales (β2)

18%

Retail banking (β3)

12%

Commercial banking ((β4)

15%

Payment and settlement (β5)

18%

Agency services (β6)

15%

Asset management (β7)

12%

Retail brokerage (β8)

12%

iii. Pendekatan AMA

Pendekatan AMA merupakan pendekatan perhitungan yang dilakukan oleh sistem internal yang meliputi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penerapan pendekatan AMA memerlukan persayaratan-persyaratan khusus pada manajemen bank tersebut, terutama adalah kualifikasi sistem penghitungan resiko internal. Disamping itu pada penerapan AMA diperlukan pengawasan dari audit eksternal.

C. Resiko Pasar

Resiko Pasar, didefinisikan sebagai resiko kerugian didalam atau pada posisi off balance sheet yang disebabkan oleh pergerakan harga pasar. Subjek dari resiko ini adalah resiko yang berkaitan dengan tingkat suku bunga pada instrumen yang diperdagangkan dan resiko tingkat nilai tukar mata uang asing. Pendekatan yang digunakan untuk perhitungan risiko pasar adalah pendekatan VaR (value at risk). Penghitungan resiko pasar secara spesifik tergantung pula pada kualifikasi yang dikeluarkan oleh External Credit Assesment (ECA), katagorinya adalah sebagi berikut :

Categories

External credit

assessment

Specific risk capital charge

Government

AAA to AA-

0%

A+ to BBB-

0.25% (residual term to final maturity 6 months or less)

1.00% (residual term to final maturity greater than 6 and up to and including 24 months)

1.60% (residual term to final maturity exceeding 24 months)

BB+ to B-

8.00%

Below B-

12.00%

Unrated

8.00%

Qualifying

0.25% (residual term to final maturity 6 months or less)

1.00% (residual term to final maturity greater than 6 and up to and including 24 months)

1.60% (residual term to final maturity exceeding 24 months)

II. Pilar kedua

Pilar kedua menangani tanggapan pengawasan terhadap pilar pertama yang memberikan perkakas lanjut bagi pengawas. Pilar ini juga memberikan suatu kerangka kerja untuk menangani semua risiko lain yang mungkin dihadapi bank, seperti risiko sistemik, risiko pensiun, risiko konsentrasi, risiko strategik, risiko reputasi, risiko likuiditas, serta risiko hukum, yang digabungkan menjadi risiko residu.

Ada empat prinsip kunci dalam review pengawasan bank, yaitu :

1. Bank perlu memiliki proses penilaian terhadap kecukupan modal secara keseluruhan dalam hubungannya dengan profil resikonya dan strategi untuk mengelola level kapitalnya.

2. Supervisor perlu melakukan review dan mengevaluasi penilaian dan strategi kecukupan modal internal bank, sebagaimana kemampuanya untuk memonitor dan meyakinkan kemampuanya memenuhi aturan rasio kapital. Supervisor dapat melakukan tindakan penyesuaian jika mereka tidak puas terhadap hasil dari proses ini.

3. Supervisor perlu meminta bank untuk beroperasi diatas batas minimum aturan rasio modal dan perlu memiliki kemampuan untuk meminta bank untuk menahan modal nya melebihi minimum.

4. Supervisor perlu melakukan intervensi pada tahap awal untuk mencegah turunnya rasi kecukupan modal kebawah level minimum untuk mendukung karakteristik resiko bank tertentu dan perlu melakukan tindakan remedial yang cepat jika modal tidak di kelola atau dirubah.

Pada proses review pengawasan bank ada beberapa hal spesifik yang perlu diperhatikan yang meliputi interest rate pada buku bank, resiko kredit, resiko operasional dan resiko pasar.

III. Pilar ketiga

Pilar ketiga menekankan pada disiplin pasar dalam menerapkan pilar I dan Pilar II. Pada pilar ketiga ini Bank diharapkan meningkatkan transparansinya sehingga mampu memberikan gambaran yang lebih baik bagi pasar mengenai posisi risiko menyeluruh bank dan untuk memberikan kesempatan bagi pihak terkait dari bank untuk memberikan harga dan menangani risiko tersebut dengan sepantasnya.

Keterbukaan yang dimaksud dalam pilar ketiga meliputi transparansi kapital, transparansi resiko kredit, transparansi resiko operasional dan transparansi resiko pasar. Transparansi tersebut meliputi transparansi pada aspek kualitatif maupun kuantitatif.

Sabtu, 24 Mei 2008

Basel I

Basel I, adalah kerangka kerja yang dikeluarkan oleh komite Basel pada tahun 1988. Ada dua tujuan utama dikeluarkanya kerangka kerja Basel I tersebut, yaitu : Pertama untuk memperkuat, memperjelas, dan meningkatkan stabilitas system Bank International. Kedua, dengan kerangka kerja tersebut diharapkan lebih adil (fair), lebih konsiten dilaksanakan pada negara-negara yang berbeda, dengan harapan dapat memperkecil perbedaan perbedaan sumber daya dan perbedaan daya saing diantara bank-bank international tersebut.

Basel I terdiri dari tiga kerangka dasar yaitu unsur-unsur modal, sistem pembobotan resiko dan target standar rasio :

I. Unsur Modal (Capital elements)

Unsur modal pada Basel I dibagi menjadi dua tier.

Tier 1 (a) Paid-up share capital/common stock yaitu saham.

(b) Disclosed reserves (Cadangan modal yang diumumkan, seperti laba ditahan, saham premium,dll )

Tier 2 (a) Undisclosed reserves (cadangan modal yang tidak diumumkan)

(b) Asset revaluation reserves (penilaian kembali asset yang dicadangkan)

(c) General provisions/general loan-loss reserves (Provisi umum)

(d) Hybrid (debt/equity) capital instruments (Instrumen modal yang memiliki karakteristik sebagai debt tetapi juga sebagai equity.

(e) Subordinated debt

Penjumlahan dari elemen tier 1 dan tier 2 dapat dipilih apakah masuk kedalam capital base atau tidak , tergantung pada batasan berikut:

Limits and restrictions (Batasan)

(i) Total tier 2 (elemen supplementary) dibatasi maximum 100% dari total tier 1;

(ii) Subordinated term debt dibatasi maximum 50% dari elemen tier 1;

(iii) Pada saat general provisions/general loan-loss reserves meliputi sejumlah penilaian yang lebih rendah dari asset tetapi tidak diindikasikan sebagai kerugian saat ini dalam neraca, Jumlah dari provisions atau reserves dibatasi maximum 1.25 % points;

(iv) Asset revaluation reserves yang diambil dari keuntungan tersembunyi akan didiskon 55 %.

Pengurangan dari Capital Base (Deductions from the capital base)

* Dari tier 1: Goodwill

* Dari total capital: (i) Investasi dalam bank yang tidak dikonsolidasi dan keuangan pada anak perusahaan.

(ii) Investasi pada capital bank lain dan institusi finansial lainya.

II. Pembobotan Resiko

Pembobotan resiko dilakukan dalam bentuk yang sederhana dan memungkinkan, hanya terdiri dari 5 katagori pembobotan yaitu : 0, 10, 20, 50 dan 100%.

Pembobotan Resiko berdasarkan katagori pada on balance sheet asset

0%

· Kas

· Klaim pada pemerintah pusat dan bank sentral yang dicairkan dan dibeli dalam mata uang yang sama.

· Klaim lain pada pemerintah pusat dan bank central anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development)

· Klaim yang senilai kas pada surat berharga pemerintah pusat OECD atau dijamin oleh pemerintah pusat negara anggota OECD.

0, 10, 20 atau 50 % *

· Klaim pada sektor publik domestik selain bank sentral dan pinjaman yang dijamin oleh penjamin sekuritas.

20 %

· Klaim pada bank pembangunan multilateral (IBRD,IADB,AsDB,AfDB,EIB,EBRD) dan klaim yang di jamin oleh bank tersebut

· Klaim pada bank yang tergabung dalam OECD dan klaim yang dijamin oleh bank tersebut.

· Klaim pada bank gabungan pada negara diluar OECD dengan residual maturity sampai dengan satu tahun.

· Komponen kas dalam proses pengumpulan

50 %

· Pinjaman yang dijamin penuh oleh mortgage pada rumah tinggal yang ditinggali atau akan ditinggali oleh peminjam atau disewakan.

100 %

· Klaim pada sector privat

· Klaim pada bank di luar negara OECD dengan residual maturity lebih dari satu tahun

· Klaim pada pemerintah pusat diluar OECD kecuali jika ditarik dan dibayar pada mata uang yang sama.

· Klaim pada perusahaan komersial yang dimiliki sector public

· Pabrik, peralatan dan asset tetap lainya

· Real estate dan investasi lainnya

· Instrumen modal yang dikeluarkan oleh bank lain (kecuali dikurangkan dari modal

· Aset yang lain

* nilainya disesuaikan dengan pertimbangan nasionalnya.

III. Target standar ratio

Komite menetapkan bahwa target standar rasio modal pada resiko asset tertimbang dapat diset pada 8% ( dimana elemen modal utama akan lebih dari 4 %). Persetujuan Basel I menekankan pada standar minimum yang dibutuhkan oleh sebuah bank international yang aktif. Pemegang otoritas di negara-negara anggotanya bisa saja membuat standard yang lebih tinggi sesuai dengan kondisi negaranya masing-masing.