Berikut tulisan seorang Ibu, yang cukup bagus sebagai bahan renungan kita dan menjadi pelajaran bagi kita para orang tua.
Saya buka kembali buku hidup saya, sebagai bahan
perenungan bagi para
ORANG TUA...
Tahun yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi
Mulia Bogor.
Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4
di SD itu. Waktu
itu Saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan
kepala sekolah.
Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala
sekolah, Dika yang
Duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan
anak-anak berprestasi
itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang
bermasalah.
Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala
sekolah justru
menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak
tersebut selalu
murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar
di kelas hanya
untuk melamun.
Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah
lembut saya tanyakan
kepada Dika "Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya
menggeleng.
"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya
"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.
Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan
kepala sekolah
untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama
tak ada kemajuan.
Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang
psikolog.
Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika
meninggalkan sekolah
untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika
menyelesaikan
soal demi soal dalam hitungan menit.
Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja
namun penuh
keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.
Angka kecerdasan
rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas)
dimana skor untuk
aspek-aspek kemapuan pemahaman ruang, abstraksi,
bahasa, ilmu pasti,
penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada
angka 140 - 160.
Ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan
verbalnya tidak
lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).
Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang
berbeda itulah
Yang menurut Psikolog, perlu dilakukan pendalaman
lebih lanjut. Oleh
sebab Itu Psikolog itu dengan santun menyarankan saya
untuk mengantar
Dika kembali Ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya
Dika perlu
menjalani test kepribadian.
Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika
kembali mengikuti
serangkaian test kepribadian.
Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan,
setidaknya
Psikolog Itu telah menarik benang merah yang
menurutnya menjadi salah
satu atau beberapa factor penghambat kemampuan verbal
Dika.
Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika.
Jawaban yang
jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat
saya berkaca diri,
melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.
Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin
ibuku :...."
Dikapun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka
hatiku, sebentar
saja" Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap
bahwa selama
ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk
bermain bebas.
Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam
permainan-permainan
edukatif sehingga saya merasa perlu menjawalkan kapan
waktunya
menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan
waktunya bermain
basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan
waktunya main game
di computer dan sebagainya.
Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi
masa depannya,
Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata
di sela-sela
waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena
sebagian besar
telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai
kursus di luar
sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan
Dika yang
begitu rumit.
Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana :
diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati
masa
kanak-kanaknya.
Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku
ingin Ayahku ..."
Dikapun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun
kira-kira
artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti
dia menuntutku
melakukan sesuatu" Melalui beberapa pertanyaan
pendalaman, terungkap
bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi
diperintah untuk
melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya
melakukan apa
saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan
kepada Dika. Dika
ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan
tempat tidurnya
sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang
lain, menonton TV
secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis
dibacanya dan tidur
tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti
itu justru
sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.
Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku
tidak ..."
Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya"
Dalam banyak hal
saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka
bekerja
keras,disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu
yang saya
inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan
bijaksana.
Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis
seperti diri saya.
Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin
menjadikan anak
sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan
bahwa anak adalah
orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin
ayahku tidak : .."
Dikapun menjawab "Tidak mempersalahkan aku di depan
orang lain.
Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang
aku buat adalah
dosa" Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak
untuk selalu
bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak
memberi tempat
kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua
menganggap bahwa
setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar
dengan hukuman, maka
anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau
mengakui kesalahan
yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan
muncul karena
orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat
anak, sehingga
tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk
mencegah atau
menghentikannya.
Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu
diberi
kesempatan Untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa
belajar dari
kesalahannya.
Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah
adakalanya bisa
menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu
mendatang tidak
membuat kesalahan yang serupa.
Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku
berbicara tentang
....." Dikapun menjawab "Berbicara tentang hal-hal
yang penting
saja". Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru
menggunakan
kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari
kantor untuk
membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti
menanyakan
pelajaran dan PR yang diberikan gurunya.
Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting,
bukanlah sesuatu
yang penting untuk anak saya.
Dengan jawabab Dika yang polos dan jujur itu saya
dingatkan bahwa
kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan
pengenalan akan
Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya
dengan ilmu
pengetahuan.
Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang
.....",
Dikapun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang
kesalahan-kesalahan nya. Aku ingin ayahku tidak selalu
merasa benar,
paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin
ayahku
mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".
Memang dalam banyak
hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia,
orang tua tak
luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya
sederhana, yaitu
ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya
dan kalau perlu
meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang
diajarkan orang tua
kepadanya.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku
setiap
hari........ " Dika berpikir sejenak, kemudian
mencoretkan penanya
dengan lancar " Aku ingin ibuku mencium dan memelukku
erat-erat
seperti ia mencium dan memeluk adikku" Memang
adakalanya saya
berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah
tidak pantas lagi
dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya
salah, pelukan
hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan
supaya
hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak
menyadari bahwa
perlakukan orang tua yang tidak sama kepada
anak-anaknya seringkali
oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang
tidak adil atau
pilih kasih.
Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin
ayahku setiap
hari....."
Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik
dengan satu
kata
"tersenyum" Sederhana memang, tetapi seringkali
seorang ayah merasa
perlu menahan senyumannya demi mempertahankan
wibawanya. Padahal
kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun
tidak akan
melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah
simpati dan energi
bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti
yang ia lihat
dari ayahnya setiap hari.
Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan
"Aku ingin ibuku
memanggilku. ..." Dikapun menuliskan "Aku ingin ibuku
memanggilku
dengan nama yang bagus" Saya tersentak sekali ! Memang
sebelum ia
lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan
penuh arti, yaitu
Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar,
saya selalu
memanggilnya dengan sebutan Nang atau Le. Nang dalam
Bahasa Jawa
diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki.
Sedangkan Le dari
kata "Tole". Waktu itu saya merasa bahwa panggilan
tersebut wajar-wajar
saja, karena hal itu merupakan sesuatu yang lumrah di
kalangan
masyarakat Jawa.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku
ingin ayahku
memanggilku .."
Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan
sebutan "Paijo"
karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa
Indonesia atau Bahasa
Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang
sayur keliling"
kata suami saya.
Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu,
saya menjadi malu
karena selama ini saya bekerja disebuah lembaga yang
membela dan
memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya
kampanyekan
pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan
Konvensi Hak-Hak
Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan
poster bertuliskan
"To Respect Child Rights is an Obligation, not a
Choise" sebuah
seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak
adalah
Kewajiban, bukan Pilihan". Tanpa saya sadari, saya
telah melanggar
hak anak saya karena telah memanggilnya dengan
panggilan yang tidak
hormat dan bermartabat.
Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan
dalam tingkah
polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga
dan juga
kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang
Tak Terucapkan.
Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka
tidak ada satupun
anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak
memang harus
diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi
para ayah (orang
tua) tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati
anak-anaknya.
Para ayah harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan
nasehat Tuhan.
Untuk menyambut Peringatan Hari Anak Nasional Tanggal
23 Juli 2008,
Saya ingin mengingatkan kembali kepada para orang tua
supaya selalu
berpikir,bersikap dan melakukan hal-hal yang
dikehendaki Tuhan.
Sumber: Ditulis oleh Lesminingtyas
Informasi Penting
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar